Jumat, 08 Agustus 2014

Manali: The Beginning of an Ancient Trade Route to Ladakh


“Manali, Manali” teriak kondektur bis lepas dari Main Square. 

Bye Dharamsala, meski tak bersua Dalai Lama, tiga hari memang tak cukup untuk mencecap semua keindahan dan kehangatan yang disuguhkan, tapi telah sedikit menawarkan dahaga akan petualangan. Naik ordinary bus 300 rupee yang berhenti di tiap terminal kecil maupun besar, Palampur, Baijnath, Jogindernagar, Mandi, Kullu dan lainnya. Pemandangan yang paling memukau adalah selepas dari terminal Mandi, hijaunya perbukitan dan liukan sungai bak ular keruh keabu-abuan, sungguh memanjakan mata dan rasa, Masyaallah.
Ordinary bus Dharamsala - Manali
Pemandangan selepas Mandi
Salah satu terminal yang disinggahi bus Bedi
Jelang malam, bis yang saya tumpangi tiba di bus stand Manali, langsung disambut oleh calo yang menawarkan hotel murah, tak ada salahnya sekedar melihat, kalaupun tak sesuai dengan keinginan, nginap semalampun tak apa, lumayan jauh juga saya diajak berjalan oleh calo ini, melalui Lady Wellingdon Hospital, masuk gang, sesudah gurudwara, check in di penginapan sederhana 250 rupee, lengang, private room di lantai dua, fasilitas lumayan, toilet dalam, shower, dan tv. Taruh tas, jalan lagi ke arah bus stand, makan malam sepiring veg biryani dan segelas lassi 120 rupee.
Anand Sunder Hotel
Private room 250 rupee
Sebenarnya area backpacker terletak di old Manali, sekitar 2 kilo dari new Manali, tempat saya menginap. Backpacker luar lebih memilih old Manali sedangkan turis lokal cenderung sebaliknya. Seperti di Shimla, new Manali juga memiliki Mall road yang dijejali toko-toko, resto, kafe, dan sebagainya, serta bebas kendaraan bermotor.
Nyamannya melenggang di Mall road
Manali terletak di ketinggian 2050 m, di ujung utara lembah Kullu, negara bagian Himachal Pradesh. Tempat wisata favorit musim panas yang akan ditutupi salju saat musim dingin, staging point bagi penghobi trekking (Beas Kund, Chandrakhani pass) dan olahraga ekstrim, seperti white-water rafting, ski, paragliding, panjat tebing, dll.

Esoknya, berkunjung ke kuil Hidimba, kuil yang didedikasikan buat dewi Hidimba, dibangun tahun 1553, berada dalam hutan suaka, dikelilingi pohon-pohon cedar nan cantik, adem. Di komplek ini, sobat bisa foto bareng kelinci dan yak Rs 10-20 per foto, lihat ada penunjuk arah ke kuil Gatothkach di sebuah batang pohon, penasaran, apakah sama dengan Gatot Kaca yang dikisahkan di tanah Jawa sana, hingga ke ujung jalan, saya tak menemukan kuil tersebut, malah menjumpai kebun apel, Manali merupakan penghasil apel utama di India, dimanapun dengan mudah ditemui pohonnya, singgah di sebuah kafe tak jauh dari sana, makan seporsi veg momo goreng, sepiring chowmien dan segelas kopi susu hangat, 145 rupee.
Kuil Hidimba, mengingatkan akan bentuk surau tua di ranah Minang
Peziarah di depan kuil Hidimba
View kota Manali dari sebuah jalan dekat hutan suaka
Samakah dengan Gatot Kaca?
Kebun apel dimana-mana
Momo goreng isi sayuran
Nyebrang jembatan ke old Manali, berasa aroma hippies-nya, tampak banyak backpacker asing berlalu lalang dan nongkrong di bar dan kafe sepanjang jalan, lalu ke kuil Manu, saat balik ke penginapan, masuk ke hutan kota, luasnya, pohon-pohon cemara menjulang tinggi. Pintu keluar hutan ini ternyata tak jauh dari Mall road.
 Jembatan merah menuju old Manali
Kuil Manu
Setelah istirahat di penginapan, nyebrang jembatan, ikuti jalan raya Manali-Leh menuju desa Vashist, sekitar 3 km, yang ada kuil dan pemandian air panas nya, di sebelah kanan jalan ada persimpangan, ikuti jalan yang menanjak hingga ujung. Lumayan rame juga tempat ini, alternatif tempat nginap, ada beberapa penginapan, kafe dan resto di sini. Tampak beberapa orang laki-laki berendam di kolam air hangat berbelerang, diantaranya satu dua orang bule, yang wanita mencuci pakaian di dekat pancuran, hendak trekking ke air terjun Jogini, tak jadi karena hampir gelap, beli kartu pos dan cemilan di sebuah kedai, balik ke mall road, makan malam di restoran vegetarian Tibet dekat hotel, chowmien dengan dadar. 
Hutan kota
Pohon-pohon cemara yang tinggi menjulang
Melewati jembatan menuju desa Vashist
Penggembala menggiring ternaknya pulang ke kandang
Pohon apel di jalan menuju desa Vashisht
Suasana desa Vashist jelang malam
Para wanita mencuci pakaian di pancuran
Sebuah kuil di desa Vashist

Hari ke-dua
Jalan ke Jagatsukh, bekas ibukota Manali, yang memiliki kuil-kuil cantik bergaya shikhara, sepertinya harus menggunakan kendaraan bermotor untuk mencapainya, terlalu jauh, balik arah, lanjut ke old Manali, dari Manu temple lurus hendak ke desa Goshal, 2 km sesuai petunjuk arah, trekking melewati jalan setapak di pinggir tebing, berpapasan dengan petani-petani apel, laki-laki dan wanita, membawa keranjang dengan cara menyampirkan talinya ke kepala, jadi ingat mace-mace di Papua sana bawa noken, mace Kapanae, mace Yawandare, kangen dong 2 ee, jauh berjalan, tak ada tanda-tanda keberadaan perkampungan yang dimaksud, balik arah, ikuti jalan setapak di antara kebun apel, satu dua turis asing melintas, tiba di sungai Beas yang jernih dan berarus deras, berbincang dengan seorang warga lokal, saat kembali, singgah di kedai kelontong “Indonesia”, beli minuman dingin, sari mangga, ternyata nama doang, orangnya juga tak tahu dimana Indonesia.
Penunjuk arah ke desa Ghosal
Tebing terjal menuju desa Ghosal
Dua orang wanita dengan keranjang kosong hendak memanen apel
Menyampirkan tali keranjang di kepala tak hanya dilakukan oleh mace-mace di Papua
Oh ya, di pinggir jalan di old Manali, sobat akan dengan mudah menemukan tanaman ganja, bukan hanya di sini, hampir di seluruh wilayah Himachal Pradesh dengan ketinggian lebih dari 1000 meter banyak ditumbuhi tanaman Cannabis sativa ini dan hashish atau charas yang dihasilkannya pun berkualitas tinggi. Di India dan juga Nepal charas ini digunakan oleh Shadu, petapa Hindu alias si orang suci untuk membantunya mencapai moksa, lebih tepatnya ekstase saat melakukan ritual pemujaan kepada dewa Syiwa.

Balik ke new Manali, masuk lagi ke hutan kemarin, terinjak pup orang, halah, membasuh terompah di sungai yang airnya sedingin es, makan siang thukpa 30 rupee, tiba di penginapan, pesan tiket minibus ke Leh dengan penjaga hotel, 1000 rupee.
Rasta mania
Kedai kelontong dan restoran Indonesia
Seporsi thukpa di restoran vegetarian Tibet
Ada banyak keluarga yang tinggal di dalam tenda di sekitar penginapan, saya tak tahu kenapa, apakah ada musibah yang menghancurkan rumah mereka, atau mereka adalah migran dari daerah lain yang belum sanggup mendirikan tempat berteduh yang layak, saat saya coba hunting foto ke arah punggung bukit, tenda-tenda ini makin banyak dan juga saat saya berjalan ke hilir aliran sungai, melewati Van Vihar National Park, di atas tanah yang lapang di pinggir sungai ada beberapa buah lagi tenda.

Sore itu, saya singgah di sebuah gompa atau monastery, yakni komplek kuil Budha khas Tibet, melihat biksu-biksu kecil dengan jubah merah marun bermain kejar-kejaran, alangkah senangnya mereka, ikut memutar roda-roda doa yang mengingatkan saya akan hakim roda mas dalam serial silat tahun 90-an, hehe, balik ke mall road, makan jagung bakar di taman depan Saba café 10 rupee, makan malam veg momo dan dadar Rs 80, balik ke hotel, datang penjaga hotel memberikan nomor kendaraan dan telepon sopir, disuruh siap-siap jam 1.30, baru ngeh, keberangkatan tengah malam nanti, bukan esok siang, hehe, saya lihat di tiket memang tertulis 1.30 AM, untung, beres-beres, istirahat.
Deretan tenda di pinggir sungai Beas
Bocah tetaplah bocah, bermain, berlarian tanpa beban
Roda-roda doa diputar sembari merapalkan mantra
Tulisan di dinding sebuah bangunan di komplek gompa
Gompa atau monastery, kuil Budha khas Tibet
Pukul 00.30, bangunkan pak penjaga, berangkat ke bus stand, menanti minibus yang akan membawa ke Leh, Ladakh, minum chai hangat Rs 10, chai terenak yang pernah saya seruput, hhmmm, ada rasa jahenya, lagi-lagi dikira orang India oleh agen bus, jam 2 minibus yang ditunggu datang, sudah ada beberapa orang penumpang di dalamnya, 2 pasang bule, sisanya lokal, total 9 orang. 

Tak sabar melalui jalur Manali – Leh yang fenomenal


Tidak ada komentar:

Posting Komentar