“Manali, Manali” teriak kondektur
bis lepas dari Main Square.
Bye Dharamsala, meski tak bersua
Dalai Lama, tiga hari memang tak cukup untuk mencecap semua keindahan dan
kehangatan yang disuguhkan, tapi telah sedikit menawarkan dahaga akan
petualangan. Naik ordinary bus 300 rupee yang berhenti di tiap terminal kecil
maupun besar, Palampur, Baijnath, Jogindernagar, Mandi, Kullu dan lainnya.
Pemandangan yang paling memukau adalah selepas dari terminal Mandi, hijaunya perbukitan
dan liukan sungai bak ular keruh keabu-abuan, sungguh memanjakan mata dan rasa,
Masyaallah.
|
Ordinary bus Dharamsala - Manali
|
|
Pemandangan selepas Mandi |
|
Salah satu terminal yang disinggahi bus Bedi |
Jelang malam, bis yang saya
tumpangi tiba di
bus stand Manali, langsung disambut oleh calo yang menawarkan
hotel murah, tak ada salahnya sekedar melihat, kalaupun tak sesuai dengan
keinginan, nginap semalampun tak apa, lumayan jauh juga saya diajak berjalan
oleh calo ini, melalui Lady Wellingdon
Hospital, masuk gang, sesudah gurudwara,
check in di penginapan sederhana 250 rupee, lengang,
private
room di lantai dua, fasilitas lumayan, toilet dalam, shower, dan tv. Taruh tas, jalan lagi ke arah
bus stand, makan malam sepiring
veg biryani dan segelas lassi 120
rupee.
|
Anand Sunder Hotel |
|
Private room 250 rupee |
Sebenarnya area backpacker terletak
di
old Manali, sekitar 2 kilo dari
new Manali, tempat saya menginap. Backpacker luar lebih memilih
old Manali sedangkan
turis lokal cenderung sebaliknya. Seperti di Shimla,
new Manali juga memiliki Mall
road yang dijejali toko-toko, resto, kafe, dan sebagainya, serta bebas
kendaraan bermotor.
|
Nyamannya melenggang di Mall road |
Manali terletak di ketinggian
2050 m, di ujung utara lembah Kullu, negara bagian Himachal Pradesh. Tempat wisata
favorit musim panas yang akan ditutupi salju saat musim dingin,
staging point
bagi penghobi
trekking (Beas Kund, Chandrakhani pass) dan olahraga ekstrim,
seperti
white-water rafting, ski,
paragliding, panjat tebing, dll.
Esoknya, berkunjung ke kuil Hidimba,
kuil yang didedikasikan buat dewi Hidimba, dibangun tahun 1553, berada dalam
hutan suaka, dikelilingi pohon-pohon cedar nan cantik, adem. Di komplek ini,
sobat bisa foto bareng kelinci dan yak Rs 10-20 per foto, lihat ada penunjuk
arah ke kuil Gatothkach di sebuah batang pohon, penasaran, apakah sama dengan Gatot Kaca yang dikisahkan di tanah Jawa sana, hingga ke ujung jalan, saya tak
menemukan kuil tersebut, malah menjumpai kebun apel, Manali merupakan penghasil apel utama di India, dimanapun
dengan mudah ditemui pohonnya, singgah di sebuah kafe tak jauh dari sana, makan seporsi
veg momo goreng, sepiring chowmien
dan segelas kopi susu hangat, 145 rupee.
|
Kuil Hidimba, mengingatkan akan bentuk surau tua di ranah Minang |
|
Peziarah di depan kuil Hidimba |
|
View kota Manali dari sebuah jalan dekat hutan suaka |
|
Samakah dengan Gatot Kaca? |
|
Kebun apel dimana-mana |
|
Momo goreng isi sayuran
Nyebrang jembatan ke old Manali, berasa aroma hippies-nya, tampak banyak backpacker asing berlalu lalang dan nongkrong di bar dan kafe sepanjang jalan, lalu ke kuil Manu, saat balik ke penginapan, masuk ke hutan kota, luasnya,
pohon-pohon cemara menjulang tinggi. Pintu keluar hutan ini ternyata tak jauh dari Mall road.
Jembatan merah menuju old Manali |
|
Kuil Manu |
Setelah istirahat di penginapan, nyebrang
jembatan, ikuti jalan raya Manali-Leh menuju desa Vashist, sekitar 3 km, yang
ada kuil dan pemandian air panas nya, di sebelah kanan jalan ada persimpangan,
ikuti jalan yang menanjak hingga ujung. Lumayan rame juga tempat ini, alternatif
tempat nginap, ada beberapa penginapan, kafe dan resto di sini. Tampak beberapa
orang laki-laki berendam di kolam air hangat berbelerang, diantaranya satu dua
orang bule, yang wanita mencuci pakaian di dekat pancuran, hendak trekking ke
air terjun Jogini, tak jadi karena hampir gelap, beli kartu pos dan cemilan di sebuah kedai, balik ke mall
road, makan malam di restoran vegetarian Tibet dekat hotel, chowmien dengan dadar.
|
Hutan kota |
|
Pohon-pohon cemara yang tinggi menjulang |
|
Melewati jembatan menuju desa Vashist |
|
Penggembala menggiring ternaknya pulang ke kandang |
|
Pohon apel di jalan menuju desa Vashisht |
|
Suasana desa Vashist jelang malam |
|
Para wanita mencuci pakaian di pancuran |
|
Sebuah kuil di desa Vashist |
Hari ke-dua
Jalan ke Jagatsukh, bekas ibukota
Manali, yang memiliki kuil-kuil cantik bergaya shikhara, sepertinya harus
menggunakan kendaraan bermotor untuk mencapainya, terlalu jauh, balik arah, lanjut
ke old Manali, dari Manu temple lurus hendak ke desa Goshal, 2 km sesuai petunjuk
arah, trekking melewati jalan setapak di pinggir tebing, berpapasan dengan
petani-petani apel, laki-laki dan wanita, membawa keranjang dengan cara
menyampirkan talinya ke kepala, jadi ingat mace-mace di Papua sana bawa noken,
mace Kapanae, mace Yawandare, kangen dong 2 ee, jauh berjalan, tak ada
tanda-tanda keberadaan perkampungan yang dimaksud, balik arah, ikuti jalan
setapak di antara kebun apel, satu dua turis asing melintas, tiba di sungai
Beas yang jernih dan berarus deras, berbincang dengan seorang warga lokal, saat
kembali, singgah di kedai kelontong “Indonesia”, beli minuman dingin, sari
mangga, ternyata nama doang, orangnya juga tak tahu dimana Indonesia.
|
Penunjuk arah ke desa Ghosal |
|
Tebing terjal menuju desa Ghosal |
|
Dua orang wanita dengan keranjang kosong hendak memanen apel |
|
Menyampirkan tali keranjang di kepala tak hanya dilakukan oleh mace-mace di Papua |
Oh ya, di pinggir jalan di old
Manali, sobat akan dengan mudah menemukan tanaman ganja, bukan hanya di sini,
hampir di seluruh wilayah Himachal Pradesh dengan ketinggian lebih dari 1000 meter banyak ditumbuhi tanaman Cannabis sativa
ini dan hashish atau charas yang dihasilkannya pun berkualitas tinggi. Di
India dan juga Nepal charas ini digunakan oleh Shadu, petapa Hindu alias si
orang suci untuk membantunya mencapai moksa, lebih tepatnya ekstase saat melakukan ritual pemujaan kepada dewa Syiwa.
Balik ke new Manali, masuk lagi ke hutan
kemarin, terinjak pup orang, halah, membasuh terompah di sungai yang airnya sedingin
es, makan siang thukpa 30 rupee, tiba di penginapan, pesan tiket minibus ke Leh
dengan penjaga hotel, 1000 rupee.
|
Rasta mania |
|
Kedai kelontong dan restoran Indonesia |
|
Seporsi thukpa di restoran vegetarian Tibet |
Ada banyak keluarga yang tinggal
di dalam tenda di sekitar penginapan, saya tak tahu kenapa, apakah ada musibah
yang menghancurkan rumah mereka, atau mereka adalah migran dari daerah lain
yang belum sanggup mendirikan tempat berteduh yang layak, saat saya coba
hunting foto ke arah punggung bukit, tenda-tenda ini makin banyak dan juga saat
saya berjalan ke hilir aliran sungai, melewati Van Vihar National Park, di atas tanah yang lapang di pinggir
sungai ada beberapa buah lagi tenda.
Sore itu, saya singgah di sebuah
gompa atau monastery, yakni komplek kuil Budha khas Tibet, melihat biksu-biksu
kecil dengan jubah merah marun bermain kejar-kejaran, alangkah senangnya
mereka, ikut memutar roda-roda doa yang mengingatkan saya akan hakim roda mas
dalam serial silat tahun 90-an, hehe, balik ke mall road, makan jagung bakar di
taman depan Saba café 10 rupee, makan malam veg momo dan dadar Rs 80, balik ke
hotel, datang penjaga hotel memberikan nomor kendaraan dan telepon sopir,
disuruh siap-siap jam 1.30, baru ngeh, keberangkatan tengah malam nanti, bukan
esok siang, hehe, saya lihat di tiket memang tertulis 1.30 AM, untung,
beres-beres, istirahat.
|
Deretan tenda di pinggir sungai Beas |
|
Bocah tetaplah bocah, bermain, berlarian tanpa beban |
|
Roda-roda doa diputar sembari merapalkan mantra |
|
Tulisan di dinding sebuah bangunan di komplek gompa |
|
Gompa atau monastery, kuil Budha khas Tibet |
Pukul 00.30, bangunkan pak
penjaga, berangkat ke bus stand, menanti minibus yang akan membawa ke Leh, Ladakh,
minum chai hangat Rs 10, chai terenak yang pernah saya seruput, hhmmm, ada rasa
jahenya, lagi-lagi dikira orang India oleh agen bus, jam 2 minibus yang
ditunggu datang, sudah ada beberapa orang penumpang di dalamnya, 2 pasang bule,
sisanya lokal, total 9 orang.
Tak sabar melalui jalur Manali –
Leh yang fenomenal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar