Selasa, 12 Agustus 2014

Leh: Journey on the Shoulder of the Earth


Perjalanan sekitar 17 jam, melewati jalanan yang berliku, berdebu, 2 kali check point, pertama sekitar 3 jam perjalanan dari Manali, terakhir sebelum melewati markas tentara sesaat sebelum memasuki kota Leh, passport dikumpul oleh sopir, ia yang berurusan dengan pihak militer.
The amazing scenery of Manali - Leh Highway
Rute Leh-Manali sepanjang 490 km, normalnya ditempuh dalam dua hari, semalam nginap di Keylong pada ketinggian 3.096 meter atau Sarchu, 4.253 meter atau Pang, 4.500 meter untuk proses aklimatisasi atau penyesuaian tubuh terhadap kadar oksigen yang rendah. Keylong paling disarankan, terutama bagi mereka yang terbiasa tinggal di dataran rendah, seperti pesisir pantai. Rata-rata ketinggian jalur Manali-Leh ini lebih dari 4000 meter, yang paling tinggi adalah Tanglang La pass, 5328 meter.
Rute ini hanya dibuka dari pertengahan Juni hingga akhir September disebabkan saat musim dingin jalan ini ditutupi salju tebal dan harus dibersihkan agar bisa dilewati, yang pengerjaannya selesai hingga April. Menumpang jeep atau minivan dalam waktu 24 jam, apalagi minivan yang kami tumpangi ini hanya butuh 17 jam saja, sangat berisiko mengalami Acute Mountain Sickness (AMS), karena tidak cukup aklimatisasi.
Rata-rata ketinggian di jalur Manali-Leh lebih dari 4.000 m
Sedikit info mengenai AMS, adalah keadaan yang sering dihadapi oleh para pendaki gunung, biasanya terjadi pada ketinggian lebih dari 8 ribu kaki atau 2.400 meter akibat berkurangnya tekanan udara dan rendahnya kadar oksigen yang tersedia dengan gejala mulai dari yang ringan sampai sedang, (seperti susah tidur, pusing, fatigue, sakit kepala, hilang nafsu makan, mual-muntah, denyut jantung meningkat dan napas pendek) hingga kondisi yang parah, seperti kulit membiru (sianosis), dada terasa berat, bingung, batuk darah, penurunan kesadaran bahkan kematian. Terapinya adalah memberikan oksigen atau turun ke ketinggian yang lebih rendah.

Alhamdulillah selama di jalan, saya tidak mengalami gejala tersebut, apakah mungkin karena sudah mengalami aklimatisasi semenjak dari Shimla, Dharamsala, dan terakhir Manali dengan ketinggian yang meningkat bertahap.
Di kiri dan kanan jalan terbentang rangkaian pegunungan Himalaya yang terbentuk dari gugusan tanah dan batu-batu cadas, diantara puncaknya tertutup salju, lembah dengan aliran sungai yang coklat keabu-abuan dan dataran pasir yang ditumbuhi sedikit tetumbuhan, semuanya membuat decak kagum, subhanallah, nikmat Tuhanku yang mana lagikah yang kan kudustai, berasa seperti bukan di India, yang ditakutkan bila berangkat pagi atau siang adalah terjebak aliran gletser dari salju yang mencair, meski telah mengantisipasi dengan berangkat lepas tengah malam, di beberapa titik, minivan yang kami tumpangi masih saja bersusah-payah melalui aliran sungai kecil dari es yang meleleh oleh panas matahari.
Beberapa puncak ditutupi salju
Aliran sungai
Dataran luas dengan tetumbuhan seadanya
Secara keseluruhan, kualitas jalan yang dilalui banyak yang masih buruk, kondisi yang dapat dimaklumi, tak mudah memang menghamparkan jalan aspal nan halus mulus sepanjang ratusan kilometer diantara deretan bukit-bukit batu cadas dan lembah yang curam, tapi satu hal yang patut diapresiasi adalah upaya India untuk membangun infrastruktur jalan yang lebih bagus, dimana tampak di beberapa lokasi sedang ada perbaikan dan pengaspalan.
Jalur yang dilapisi aspal
Tampak alat-alat berat sedang mengerjakan perbaikan jalan
Satu dua truk tengah melintas
Bagi sobat yang ingin merasakan petualangan yang tak biasa, disarankan untuk mencoba melewati jalur ini dengan menggunakan sepeda atau motor, lebih seru lagi dengan konvoi bareng, seperti yang saya lihat kala itu, orang lokal maupun turis asing, terpikir untuk menjajal dengan cara yang sama suatu saat nanti, hehe, untuk penginapan, di sepanjang jalan ini ada tenda-tenda yang disewakan oleh penduduk setempat untuk beristirahat, cara lain meresapi kebesaran yang Maha Kuasa atas anugerah alam yang luar biasa menakjubkan. 

Sarapan bread omelette dan chai 50 rupee di sebuah kafe tenda di pinggir jalan, yang membuat heran, kenapa yang berjualan tidak mematok harga berkali-kali lipat, makan siang nasi dengan dal veg, omelette, air mineral 125 rupee.

Tiba di bus stand Leh pukul 18.30, jalan ke Changspa road, check in di Gonbo guesthouse, 200 rupee, private room dengan shared bathroom, taruh barang, jalan ke arah Masjid Jama di persimpangan menuju Main bazaar, ada beberapa restoran halal di sekitarnya, dan sudah akan tutup, malam ini cukup ngemil biskuit saja, balik ke penginapan, kepala berasa pusing dan perasaan tak nyaman, apakah ini salah satu gejala AMS yang baru saja saya alami, coba minum Tolak Angi* yang masih tersisa, lalu tidur.
Kero atau tempat tidur besi di Gonbo guesthouse
Esoknya, sarapan di gang dekat Masjid, chai dan roti 20 rupee, balik ke hostel, istirahat, untuk menghindari hal yang tak diinginkan dan meminimalisir gejala dari AMS, disarankan saat tiba di ketinggian lebih dari 3.000 meter, seperti Leh ini, jangan terlalu banyak aktifitas, biarkan tubuh beradaptasi bertahap terhadap kadar oksigen yang rendah, bangun pukul 3 sore, balik ke Masjid Jama, makan nasi kari ayam 70 rupee di sebuah rumah makan, pemiliknya orang Khasmir, baik, wajahnya serasa tak asing, serasa pernah bertemu sebelumnya, bukan di India tapi di Indonesia, hehe, dan sampai saat ini saya masih bisa merasakan nikmatnya kari ayam buatannya, selesai dengan urusan perut, singgah di beberapa biro travel, tanya-tanya tur ke Pangong Tso, jatuh pilihan di Ladakh explore, ambil paket 2 hari 1 malam, 2100 rupee.
Kue kering dan segelas chai
Kari ayam dan sambal mangga yang nendang
Leh adalah ibukota Ladakh, negara bagian Jammu & Khasmir, India. Berlokasi di lembah sungai Indus, rute perdagangan kuno antara Kashgar, Tibet, dan Khasmir. Sejak dibuka kembali bagi turis tahun 1974 yang sempat ditutup selama perang Sino-Indian tahun 1962, kota ini kian dikenal dan makin terkenal lagi lewat film 3 idiot. Changspa boleh dikata area backpacker-nya Leh, yang dipenuhi oleh penginapan, bar, kafe, biro travel, dan sebagainya. Main bazaar yang terletak di ketinggian 3.505 meter tempat berjajarnya, minimarket, resto, toko buku, toko-toko souvenir khas Ladakh.  
Wanita Ladakh berjejer menggelar dagangan di trotoar Main bazaar
Beli perlengkapan mandi, sunblock, cookies almond di sebuah minimarket, meski terletak di ketinggian dan bersuhu dingin, tapi saat siang hari panasnya begitu terik dan membakar, paduan dingin dan panas ini membuat kulit kering, kasar dan bersisik, gampang lecet akibat gesekan pakaian, terutama paha, walau telah dioles lotion pelembab sekalipun. Saya termasuk orang yang tak acuh dengan perawatan wajah dan tubuh, tapi selama di Leh ini, saya menyerah, sunblock, cream wajah dan hand-body lotion menjadi sahabat setia dikala berada di luar.  
Cookies almond nan renyah
Yang tak bisa dihindari adalah bibir kering, pecah dan luka, tak ada pelembab khuhus bibir yang saya punya, tak ada di minimarket, tanya ke toko obat, segan, biarlah, memang tak separah ketika traveling di Cina saat awal musim dingin beberapa waktu lalu.

Jalan ke Shanti stupa, di ketinggian 4.267, di ujung Changspa road, menaiki sekitar 500 anak tangga, tiap beberapa langkah, berhenti untuk mengambil napas sembari melihat ke arah kota Leh yang cantik di bawah sana, sore yang istimewa, tiba di atas, tampak bangunan stupa putih berdiri megah ditengah pelataran yang begitu luas, membentuk lingkaran. Stupa ini mulai dibangun oleh penganut Budha Ladakh dan Jepang tahun 1983 dan diresmikan tahun 1991 oleh Dalai Lama ke-14, Tenzin Gyatso. Berkunjung ke sini tak hanya untuk wisata religi, tapi juga tempat yang pas untuk melihat panorama kota Leh dari ketinggian dan menyaksikan sang surya terbit dan tenggelam di cakrawala. Bertahan hingga gelap ditengah udara dingin yang makin menusuk, lampu-lampu mulai menyala bak kunang-kunang di kejauhan, liukan jalan bak ular raksasa yang bercahaya, lampias, balik ke hostel, ganti pakaian, jalan ke rumah makan tadi siang, menyantap seporsi nasi kari ayam dengan sambal mangga, nendang, pulang ke hostel, shalat dan istirahat. 
Sore nan jingga dari anak tangga menuju Shanti stupa
Kawasan subur kota Leh
View dari pelataran Shanti stupa
Shanti stupa
Ular raksasa bercahaya
Penunjuk arah di pelataran Shanti stupa
Di sana Khardungla pass, highest motorable road in the world
Hari ke-dua
Makan siang di Sheldan café tak jauh dari hostel, veg chowmien dan segelas ginger lemon tea 110 rupee, berharap terkoneksi dengan internet, beli makanan kecil dan vaselin* di minimarket di Main bazaar.
Sorenya berjalan ke Ladakh palace, sebuah istana yang terletak di atas bukit Tsemo yang dibangun pada abad ke-17 oleh raja Sengge Namgyal, bangunan 9 lantai yang menyerupai Potala palace yang ada di Lhasa, Tibet sana, tiket masuk 100 rupee, hanya mengamati dari luar, lalu naik lagi ke Namgyal Tsemo gompa di atasnya, dibangun tahun 1430, pemandangan dari atas kuil ini cantik nian, masyaallah, menikmati sore menjelang petang, rumah-rumah tersusun bagaikan kotak, tampak menara Masjid di kejauhan, pohon-pohon yang tumbuh homogen di satu area, bukit-bukit tandus, padang pasir, serasa berada di Afghanistan dan jazirah Arab sana, hehe, tanpa pohon kurma tentunya, turun, shalat maghrib berjamaah di sebuah Masjid, menjadi makmum yang kebingungan mendapati gerakan-gerakan shalat yang tak lazim, syiahkah? entahlah, selama di India, saat bertemu sesama muslim, mereka selalu bertanya apakah saya sunni atau syiah, makan malam di gang dekat masjid, momo isi daging domba 80 rupee, beli apel setengah kilo 40 rupee, isi ulang air 2 botol 14 rupee.
Ladakh palace dari old Leh
Namgyal Tsemo gompa
Menara masjid di kejauhan
Penduduk asli Ladakh
Seorang bule meluncur terbang dari bukit Tsemo
Momo isi daging domba dengan soup dan aneka sambal, nyummy
Next...Leh part II, Pangong Tso


Tidak ada komentar:

Posting Komentar