Perjalanan sekitar 17 jam,
melewati jalanan yang berliku, berdebu, 2 kali check point, pertama sekitar 3
jam perjalanan dari Manali, terakhir sebelum melewati markas tentara sesaat
sebelum memasuki kota Leh, passport dikumpul oleh sopir, ia yang berurusan
dengan pihak militer.
|
The amazing scenery of Manali - Leh Highway |
Rute Leh-Manali sepanjang 490 km,
normalnya ditempuh dalam dua hari, semalam nginap di Keylong pada ketinggian 3.096
meter atau Sarchu, 4.253 meter atau Pang, 4.500 meter untuk proses aklimatisasi
atau penyesuaian tubuh terhadap kadar oksigen yang rendah. Keylong paling
disarankan, terutama bagi mereka yang terbiasa tinggal di dataran rendah,
seperti pesisir pantai. Rata-rata ketinggian jalur Manali-Leh ini lebih dari
4000 meter, yang paling tinggi adalah Tanglang La
pass, 5328 meter.
Rute ini hanya dibuka dari
pertengahan Juni hingga akhir September disebabkan saat musim dingin jalan ini
ditutupi salju tebal dan harus dibersihkan agar bisa dilewati, yang
pengerjaannya selesai hingga April. Menumpang
jeep atau minivan dalam waktu 24
jam, apalagi minivan yang kami tumpangi ini hanya butuh 17 jam saja, sangat
berisiko mengalami
Acute Mountain Sickness (AMS), karena tidak cukup aklimatisasi.
|
Rata-rata ketinggian di jalur Manali-Leh lebih dari 4.000 m |
Sedikit info mengenai AMS, adalah
keadaan yang sering dihadapi oleh para pendaki gunung, biasanya terjadi pada
ketinggian lebih dari 8 ribu kaki atau 2.400 meter akibat berkurangnya tekanan
udara dan rendahnya kadar oksigen yang tersedia dengan gejala mulai dari yang
ringan sampai sedang, (seperti susah tidur, pusing, fatigue, sakit kepala,
hilang nafsu makan, mual-muntah, denyut jantung meningkat dan napas pendek)
hingga kondisi yang parah, seperti kulit membiru (sianosis), dada terasa berat,
bingung, batuk darah, penurunan kesadaran bahkan kematian. Terapinya adalah memberikan
oksigen atau turun ke ketinggian yang lebih rendah.
Alhamdulillah selama di jalan,
saya tidak mengalami gejala tersebut, apakah mungkin karena sudah mengalami
aklimatisasi semenjak dari Shimla, Dharamsala, dan terakhir Manali dengan
ketinggian yang meningkat bertahap.
Di kiri dan kanan jalan
terbentang rangkaian pegunungan Himalaya yang terbentuk dari gugusan tanah dan
batu-batu cadas, diantara puncaknya tertutup salju, lembah dengan aliran sungai
yang coklat keabu-abuan dan dataran pasir yang ditumbuhi sedikit tetumbuhan,
semuanya membuat decak kagum, subhanallah, nikmat Tuhanku yang mana lagikah
yang kan kudustai, berasa seperti bukan di India, yang ditakutkan bila
berangkat pagi atau siang adalah terjebak aliran gletser dari salju yang
mencair, meski telah mengantisipasi dengan berangkat lepas tengah malam, di
beberapa titik, minivan yang kami tumpangi masih saja bersusah-payah melalui
aliran sungai kecil dari es yang meleleh oleh panas matahari.
|
Beberapa puncak ditutupi salju |
|
Aliran sungai |
|
Dataran luas dengan tetumbuhan seadanya |
Secara keseluruhan, kualitas
jalan yang dilalui banyak yang masih buruk, kondisi yang dapat dimaklumi, tak
mudah memang menghamparkan jalan aspal nan halus mulus sepanjang ratusan
kilometer diantara deretan bukit-bukit batu cadas dan lembah yang curam, tapi
satu hal yang patut diapresiasi adalah upaya India untuk membangun infrastruktur
jalan yang lebih bagus, dimana tampak di beberapa lokasi sedang ada perbaikan
dan pengaspalan.
|
Jalur yang dilapisi aspal |
|
Tampak alat-alat berat sedang mengerjakan perbaikan jalan |
|
Satu dua truk tengah melintas |
Bagi sobat yang ingin merasakan
petualangan yang tak biasa, disarankan untuk mencoba melewati jalur ini dengan
menggunakan sepeda atau motor, lebih seru lagi dengan konvoi bareng, seperti
yang saya lihat kala itu, orang lokal maupun turis asing, terpikir untuk
menjajal dengan cara yang sama suatu saat nanti, hehe, untuk penginapan, di
sepanjang jalan ini ada tenda-tenda yang disewakan oleh penduduk setempat untuk
beristirahat, cara lain meresapi kebesaran yang Maha Kuasa atas anugerah alam
yang luar biasa menakjubkan.
Sarapan bread omelette dan chai
50 rupee di sebuah kafe tenda di pinggir jalan, yang membuat heran, kenapa yang
berjualan tidak mematok harga berkali-kali lipat, makan siang nasi dengan dal
veg, omelette, air mineral 125 rupee.
Tiba di bus stand Leh pukul
18.30, jalan ke Changspa road, check in di Gonbo guesthouse, 200 rupee, private
room dengan shared bathroom, taruh barang, jalan ke arah Masjid Jama di
persimpangan menuju Main bazaar, ada beberapa restoran halal di sekitarnya, dan
sudah akan tutup, malam ini cukup ngemil biskuit saja, balik ke penginapan,
kepala berasa pusing dan perasaan tak nyaman, apakah ini salah satu gejala AMS
yang baru saja saya alami, coba minum Tolak Angi* yang masih tersisa, lalu tidur.
|
Kero atau tempat tidur besi di Gonbo guesthouse |
Esoknya, sarapan di gang dekat
Masjid, chai dan roti 20 rupee, balik ke hostel, istirahat, untuk menghindari
hal yang tak diinginkan dan meminimalisir gejala dari AMS, disarankan saat tiba
di ketinggian lebih dari 3.000 meter, seperti Leh ini, jangan terlalu banyak
aktifitas, biarkan tubuh beradaptasi bertahap terhadap kadar oksigen yang
rendah, bangun pukul 3 sore, balik ke Masjid Jama, makan nasi kari ayam 70
rupee di sebuah rumah makan, pemiliknya orang Khasmir, baik, wajahnya serasa
tak asing, serasa pernah bertemu sebelumnya, bukan di India tapi di Indonesia,
hehe, dan sampai saat ini saya masih bisa merasakan nikmatnya kari ayam
buatannya, selesai dengan urusan perut, singgah di beberapa biro travel, tanya-tanya
tur ke Pangong Tso, jatuh pilihan di Ladakh explore, ambil paket 2 hari 1 malam,
2100 rupee.
|
Kue kering dan segelas chai |
|
Kari ayam dan sambal mangga yang nendang |
Leh adalah ibukota Ladakh, negara
bagian Jammu & Khasmir, India. Berlokasi di lembah sungai Indus, rute
perdagangan kuno antara Kashgar, Tibet, dan Khasmir. Sejak dibuka kembali bagi
turis tahun 1974 yang sempat ditutup selama perang Sino-Indian tahun 1962, kota
ini kian dikenal dan makin terkenal lagi lewat film 3 idiot. Changspa boleh
dikata area backpacker-nya Leh, yang dipenuhi oleh penginapan, bar, kafe, biro
travel, dan sebagainya. Main bazaar yang terletak di ketinggian 3.505 meter
tempat berjajarnya, minimarket, resto, toko buku, toko-toko souvenir khas
Ladakh.
|
Wanita Ladakh berjejer menggelar dagangan di trotoar Main bazaar |
Beli perlengkapan mandi,
sunblock, cookies almond di sebuah minimarket, meski terletak di ketinggian dan
bersuhu dingin, tapi saat siang hari panasnya begitu terik dan membakar, paduan
dingin dan panas ini membuat kulit kering, kasar dan bersisik, gampang lecet
akibat gesekan pakaian, terutama paha, walau telah dioles lotion pelembab
sekalipun. Saya termasuk orang yang tak acuh dengan perawatan wajah dan tubuh,
tapi selama di Leh ini, saya menyerah, sunblock, cream wajah dan hand-body
lotion menjadi sahabat setia dikala berada di luar.
|
Cookies almond nan renyah |
Yang tak bisa dihindari adalah bibir
kering, pecah dan luka, tak ada pelembab khuhus bibir yang saya punya, tak ada
di minimarket, tanya ke toko obat, segan, biarlah, memang tak separah ketika traveling
di Cina saat awal musim dingin beberapa waktu lalu.
Jalan ke Shanti stupa, di
ketinggian 4.267, di ujung Changspa road, menaiki sekitar 500 anak tangga, tiap
beberapa langkah, berhenti untuk mengambil napas sembari melihat ke arah kota
Leh yang cantik di bawah sana, sore yang istimewa, tiba di atas, tampak bangunan
stupa putih berdiri megah ditengah pelataran yang begitu luas, membentuk
lingkaran. Stupa ini mulai dibangun oleh penganut Budha Ladakh dan Jepang tahun
1983 dan diresmikan tahun 1991 oleh Dalai Lama ke-14, Tenzin Gyatso. Berkunjung
ke sini tak hanya untuk wisata religi, tapi juga tempat yang pas untuk melihat
panorama kota Leh dari ketinggian dan menyaksikan sang surya terbit dan
tenggelam di cakrawala. Bertahan hingga gelap ditengah udara dingin yang makin
menusuk, lampu-lampu mulai menyala bak kunang-kunang di kejauhan, liukan jalan
bak ular raksasa yang bercahaya, lampias, balik ke hostel, ganti pakaian, jalan
ke rumah makan tadi siang, menyantap seporsi nasi kari ayam dengan sambal mangga, nendang, pulang ke hostel, shalat dan istirahat.
|
Sore nan jingga dari anak tangga menuju Shanti stupa |
|
Kawasan subur kota Leh |
|
View dari pelataran Shanti stupa |
|
Shanti stupa |
|
Ular raksasa bercahaya |
|
Penunjuk arah di pelataran Shanti stupa |
|
Di sana Khardungla pass, highest motorable road in the world |
Hari ke-dua
Makan siang di Sheldan café tak
jauh dari hostel, veg chowmien dan segelas ginger lemon tea 110 rupee, berharap
terkoneksi dengan internet, beli makanan kecil dan vaselin* di minimarket di
Main bazaar.
Sorenya berjalan ke Ladakh palace,
sebuah istana yang terletak di atas bukit Tsemo yang dibangun pada abad ke-17
oleh raja Sengge Namgyal, bangunan 9 lantai yang menyerupai Potala palace yang
ada di Lhasa, Tibet sana, tiket masuk 100 rupee, hanya mengamati dari luar, lalu
naik lagi ke Namgyal Tsemo gompa di atasnya, dibangun tahun 1430, pemandangan
dari atas kuil ini cantik nian, masyaallah, menikmati sore menjelang petang,
rumah-rumah tersusun bagaikan kotak, tampak menara Masjid di kejauhan,
pohon-pohon yang tumbuh homogen di satu area, bukit-bukit tandus, padang pasir,
serasa berada di Afghanistan dan jazirah Arab sana, hehe, tanpa pohon kurma tentunya, turun, shalat maghrib berjamaah di
sebuah Masjid, menjadi makmum yang kebingungan mendapati gerakan-gerakan shalat yang tak lazim, syiahkah? entahlah, selama di India, saat bertemu sesama muslim, mereka selalu bertanya apakah saya sunni atau syiah, makan malam di gang dekat masjid,
momo isi daging domba 80 rupee, beli apel setengah kilo 40 rupee, isi ulang air
2 botol 14 rupee.
|
Ladakh palace dari old Leh |
|
Namgyal Tsemo gompa |
|
Menara masjid di kejauhan |
|
Penduduk asli Ladakh |
|
Seorang bule meluncur terbang dari bukit Tsemo |
|
Momo isi daging domba dengan soup dan aneka sambal, nyummy |
|
Next...Leh part II, Pangong Tso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar