Sabtu, 20 Juli 2013

11112012: Semalam Di Vang Vieng, Guilin A La Laos

Bentangan Alam Dari Bukit Phousi Di Suatu Pagi

Keluar lebih pagi mengarah ke Phousi Hill dengan harapan yang serupa seperti kemarin, masuk perai alias percuma, hehe, ternyata sampai di sana sudah ada petugas yang mencegat di loket karcis, halah. Tak apalah bayar tiket 20.000 Kip. Alhamdulillah tak menyesal, karena sajian panorama alam yang disuguhkan dari atas bukit tersebut begitu mempesona. Memandang ke arah utara terpajang sungai Mekong dengan air keruhnya yang tampak tenang menghanyutkan. Lanjut menebar pandangan ke selatan, kelihatan hamparan rumah-rumah penduduk dengan latar pegunungan di kejauhan dan kendaraan berbentuk kotak-kotak mungil bergerak di jalanan. Beralih sedikit ke sebelah kiri, mengalir Nam Khan yang juga keruh kecoklatan. Kesemuanya itu dipercantik oleh semburat sinar kekuningan dari cahaya mentari yang baru saja menanjak sepenggalahan, merembes dari balik kabut. Subhanallah indah, momen yang nyaris terlewat. Phousi hill is recommended place in Luang Prabang. 
Barangkali ada satu jam lebih saya berada di sana menyimak gerak matahari yang meninggi dan menyimpan kesan magis yang ditimbulkannya ke dalam bentuk gambar-gambar yang memikat. Dengan berat hati, saya turun dan balik ke penginapan, bersiap-siap untuk mengejar bus yang akan berangkat ke Vang Vieng. Naik tuk-tuk 15.000 Kip menuju Bannaluang station. Sesampai di sana, saya sarapan di warung yang ada di dalam terminal, saya memesan sepotong sandwich (baguette) vegetables dan segelas kopi hitam yang mengepul hangat 15.000 Kip. Alhamdulillah, cukup setengah potong sandwich saja sudah membuat perut pagi itu kenyang, sisanya yang setengah lagi saya jadikan bekal di jalan. Naik ke atas bus, lagi-lagi dipenuhi oleh turis asing. Apa sih daya tarik negara ini? Sehingga bejibun turis asing datang berkunjung. Saya perhatikan selama di Laos, ada banyak turis berkebangsaan Prancis melancong di sini, muda maupun sepuh, dari backpacker hingga kelas elit. Mungkin sama kasus dengan bule Belanda yang berkunjung ke Indonesia, mencoba menelisik sejarah pendudukan bangsa mereka atas tanah jajahan yang subur makmur berpuluh-puluh tahun silam.
Tak lama kemudian, buspun berangkat membawa kami menuju Vang Vieng, Guilin-nya Laos. Saya duduk disebelah seorang laki-laki lokal yang kebetulan menjadi tour guide beberapa orang turis muda. Ia menjadi teman berbincangku sepanjang perjalanan, asli dari Phonsavan.

FYI, Phonsavan adalah ibukota propinsi Xiengkhoang, berbatasan sebelah utara dengan propinsi Louangphabang. Daerah dataran tinggi ini terkenal dengan situs Plain of Jar-nya yang merupakan hamparan tempat bertebarannya lesung-lesung batu dari era megalitikum. Bagi sobat yang mengagumi peradaban era prasejarah, silakan berkunjung ke sana. Namun hati-hati, karena masih banyak ranjau darat yang masih tertanam dan sewaktu-waktu siap meledak.

Keluar dari Luang Prabang, para penumpang disuguhi oleh pemandangan di kiri kanan yang amboi cantiknya, bukit-bukit gundul dan lembahnya begitu memanjakan mata. Kalau boleh saya berikan sedikit gambaran, agak mirip-miriplah seperti gugusan bukit yang mengelilingi danau Sentani di Jayapura (Sentani pastinya lebih keren, hehe). Beberapa orang turis tak henti-hentinya merekam dan mengambil gambar dari balik kaca. Sayapun hendak mengabadikan momen tersebut, tapi terhalang oleh posisi duduk. Tak soal, biarlah semua itu hanya terekam di dalam memori dan saya bersyukur pernah melewatinya.

Bus berhenti beberapa kali, yang pertama saat ke toilet di suatu pesawangan. Saya membeli sesisir pisang 3.000 Kip di warung pinggir jalan, lumayan untuk mengganjal perut. Ternyata ada kopiko di dalam toples, ajib. Berharap lebih banyak lagi produk-produk Indonesia berjaya di luar negeri setidaknya di kawasan regional ASEAN. Siangnya bus berhenti lagi di sebuah rumah makan, saya hanya membeli sebuah Mangga yang telah dikupas kulitnya, manis. Sisa sandwich ditambah beberapa buah Pisang plus Mangga alhamdulillah mampu menjadi pengganjal hingga malamnya di Vang Vieng saya menemukan tempat makan halal, di Nizham restaurant.

Menjelang sore bus tiba di terminal Vang Vieng, naik songthaew ke pusat kota (10.000 Kip) bareng teman sebangku tadi dan rombongannya. Turun dari kendaraan, saya check in di Khampone Guesthouse 50.000 Kip untuk private room dengan fasilitas single bed, fan, tv, wi-fi, serta kamar mandi di dalam. Selesai menaruh barang, saya keluar mencari restoran halal sekalian foto-foto suasana kota Vang Vieng kala petang dengan background bukit-bukit kapur. Awalnya bermaksud hendak mencari Nisha restaurant yang saya ketahui ada cabangnya di Vang Vieng. Namun setelah dicari-cari hingga jauh keluar kota, hasilnya nol, padahal panah biru petunjuk arah di google map berhenti di lokasi tersebut. Akhirnya balik arah dan singgah di Nazhim restaurant, pemiliknya keturunan India-Malaysia. Saya makan malam dengan menu nasi dengan soup ayam 20.000 Kip. Setelah kenyang, saya berkeliling sambil mencari bus tujuan Vientiane di beberapa biro travel. Geliat kehidupan malam di kota ini terpusat di sekitar pinggir sungai. Ada banyak penginapan, restauran, bar, kafe berjejeran di sekitar sini. Masing-masing tempat nongkrong berlomba menawarkan pelayanan terbaik mereka bagi turis,  dan rata-rata hampir di setiap bar/ kafe di putar sitkom Hollywood yang tenar di era 90-an, seperti Friends dan sejenisnya.
Vang Vieng merupakan kota kecil yang dapat dijajal cukup dengan berjalan kaki. Atraksi wisata utama di sini adalah berupa olah raga air, yakni tubing dan kayaking sehingga tak heran banyak toko yang menjual perlengkapan untuk kegiatan tersebut, seperti celana dan tas plastik anti air. Saya berjalan menjauh dari pinggir sungai, ke sebuah lapangan yang saat itu disulap menjadi arena pasar malam, tak banyak wahana bermain yang ditawarkan, pun permainan judi kecil-kecilnya tak beragam. Tak ada komidi putar, rumah hantu, roda-roda maut seperti yang pernah dihelat bertahun-tahun lampau di kampungku, hehe. Umumnya yang hadir disitu adalah orang-orang lokal, beralih sejenak dari traveler asing untuk meresapi kebahagiaan sederhana a la pribumi Lao. Puas berkeliling, saatnya balik ke penginapan, mandi, sholat, lantas leyeh-leyeh di atas pembaringan sambil menikmati siaran televisi.     



Tidak ada komentar:

Posting Komentar