Sabtu, 13 Juli 2013

10112012: Masih Tentang Luang Prabang, Cuci Mata Di Air Terjun Kuang Xi

Bangun, keluar menghirup segarnya udara pagi sembari memuaskan hasrat berkodak-ria. Salah satu atraksi yang paling ditunggu oleh para penggemar jeprat-jepret di Luang Prabang adalah morning alms (Tak Bat) atau prosesi sedekah biksu. Setiap pagi hari, rombongan monk yang mengenakan jubah kuning jalan berarakan untuk menerima pemberian berupa makanan dari masyarakat (termasuk juga wisatawan) yang telah duduk bersimpuh di sepanjang trotoar. Sayangnya entah telat atau salah tempat, saya tak melihat seremoni harian tersebut.
Photo by *G Star*
Lantas saya beranjak ke Royal Palace (Haw Kham) yang berlokasi di Sisavangvong road, mumpung loket karcis belum buka, hehe. Ternyata sudah ada beberapa orang turis di sana dengan tujuan serupa. Haw Kham ini merupakan komplek istana yang dibangun pada masa kolonial Prancis di tahun 1904, diperuntukkan bagi Raja Sisavang Vong dan keluarganya. Namun setelah sempat diambil-alih oleh rezim komunis, pada tahun 1995 bangunan tersebut diubah-fungsikan menjadi Museum Nasional. Bagi sobat pecinta sejarah dan budaya yang ingin mengenal Laos lebih jauh, silakan diobrak-abrik bagian dalam museum tersebut, buka dari pukul 8.00 s/d 11.00 dan 13.30 s/d 16.00 setiap hari kecuali Selasa dengan bea masuk 30,000 Kip.
Haw Pha Bang
Lalu naik ke bukit Phousi di seberang jalan Royal Palace, tatkala sampai di atas, eh sudah  ada petugas yang mengkawal loket karcis, akhirnya duduk-duduk saja di bangku taman. Bertemu dengan wanita Cina kemarin, hanya dia seorang saat itu. Saat turun, saya utarakan niat akan berkunjung ke Dali dan Lijiang di negaranya. Beliau kurang begitu antusias dan mengatakan bahwa kedua kota kuno tersebut, sekarang lebih turistik dibandingkan beberapa tahun berselang. Padahal saya berharap respon kaget dan wow yang wah darinya, hehe. Tak terpengaruh dengan curhat si tante, saya ubah topik pembicaraan, ternyata dia baru balik dari Chiang Mai, kota yang telah membuatnya jatuh cinta, dan ketika saya tanya pernah ke Indonesia, lagi-lagi jawabnya memiriskan hati, hehe. Untungnya dia tahu tentang Indonesia meski hanya Bali semata, "it's famous island, someday i will visit there" katanya. Saya menawarkan padanya untuk sama-sama berkunjung ke Kuang Si Waterfall, tampaknya dia berminat, kami sepakat untuk bertemu di tempat mangkal tuk-tuk tujuan Kuang Si berada pada pukul sepuluh, lalu kami berpisah, saya kembali ke penginapan, bersiap-siap pindah ke guesthouse yang lebih murah.

Saat melewati pangkalan tuk-tuk tersebut, saya tak bertemu lagi dengannya. Akhirnya saya coba bertanya pada salah satu biro perjalanan di Sisavangvong road, dan dapat harga 50.000 Kip (return). Harga ini sama dengan ongkos bila bepergian dengan tuk-tuk, untungnya pesan di agen travel, disamping jenis kendaraan yang digunakan (minivan), juga tak perlu menunggu lama, karena tuk-tuk akan melaju setelah semua tempat duduk terisi penuh.

Saya check in di My Lao Home Capsule Guesthouse yang terletak di sebuah gang tak jauh dari Royal Palace, dormitory 40.000 Kip, kemudian buru-buru menuju Nisha restaurant untuk makan siang. Berhubung untuk meracik sepiring Nasi Briyani yang saya pesan butuh waktu lama ditambah jarak dari Nisha ke Sisavangvong road aduhai jauhnya, mepet, dikemaslah nasi khas India itu ke dalam styrofoam. Tak apalah, balik lagi ke biro travel, sampai di sana sudah ditunggu oleh minivan yang akan mengantar kami ke Kuang Si, arghh, capeknyo.

Pukul setengah duabelas lewat, minivan berangkat menuju air terjun Kuang Si yang berjarak ± 29 km dari pusat kota. Hanya saya dan seorang perempuan lokal saja penumpang yang berwajah asia, selebihnya bule, seorang paitua 60-an dari Australia yang tak lelah-lelahnya bercerita tentang pengalamannya melancong ke berbagai negara, pasangan kekasih dari Kanada yang telah mengenalkan kopi luwak Indonesia sebagai kopi paling enak yang mereka coba (thank, bro), pasangan Prancis dan yang lainnya lupa. Untuk informasi lebih lanjut mengenai Kuang Si dan bagaimana cara mencapainya, boleh di baca di laman berikut.

Pemandangan selama ± 1 jam perjalanan tak jauh beda dengan suasana rural di Indonesia, rumah-rumah penduduk yang berjauhan satu sama lain, area persawahan plus kerbaunya. Saya juga melihat beberapa orang turis asing bersepeda menuju Kuang Si. Sampai di lokasi, pak sopir memberi batas waktu hingga pukul tiga sore, kami harus membayar tiket masuk 20.000 Kip. Saat melewati pintu gerbang, para pengunjung sudah disuguhi asrinya hawa hutan hujan tropis. Ada dua jalur yang ditawarkan untuk mencapai air terjun utama, saya memilih jalur yang melewati penangkaran Beruang Hitam Asia, dari situ terus menapak di walkways menyusuri pinggir sungai yang bertingkat-tingkat rendah hingga sedang (cascade) membentuk kolam yang berwarna hijau toska, sungguh lanskap alam yang benar-benar memanjakan mata. Banyak bule yang berenang di sana, ada beberapa orang yang bergelantungan pada sebuah sulur pohon lantas meloncat ke kolam yang agak dalam, yang perempuan mengenakan bikini layaknya di tepi pantai, wow. Terbayang masa kecil loncat-loncatan di Batang Anai bareng kawan-kawan sepermainan. Sampai di air terjun utama, melintasi jembatan kayu, lalu mendaki ke puncak, kala itu hanya saya dan pasangan Prancis (bukan yang satu minivan), lumayan terjal dan curam medan yang harus ditempuh, hingga di ketinggin tertentu saya putuskan untuk turun, namun semangat kembali terpicu setelah dilewati oleh kakek-kakek yang masih energik, tak mau kalah, saya balik badan dan berhasil sampai ke puncak, ternyata sudah ada yang terlebih dahulu sampai di sana selain pasangan Prancis tadi, makin lama makin banyak yang berdatangan. 

Puas menikmati pemandangan alam yang tersaji dan terpampang indah dari atas, saya kembali turun dan rehat melepas penat di bangku dekat air terjun utama, merasakan percikan tempias, ditemani syahdunya alunan butiran-butiran air yang berjatuhan serta memperhatikan polah aksi pengunjung lain yang berfoto-foto dalam pelbagai pose.
Air Terjun Utama (Sumber: Allpointseast)
Menjelang jam tiga, saya kembali ke tempat parkir minivan berada. Semua teman se-mobil selain pasangan Kanada tadi sudah berada di tempat. Sambil menunggu mereka yang ternyata ikut pula berenang, saya berjalan-jalan melihat lapak-lapak souvenir yang ada di sekitar parkir. Tak lama merekapun datang, kemudian minivan kami melaju ke arah pusat kota. Tak banyak yang saya lakukan sesampai di kota, istirahat di penginapan yang baru, hanya saya seorang penghuni di dalam kamar dormitory itu. Meski ada beberapa orang tamu lain di kamar khusus wanita di sebelahnya, suasana lengang dan mencekam berasa di lantai dua tersebut, hihihi. Namun secara keseluruhan, guesthouse ini bolehlah saya sarankan bagi sobat budget traveler bila bertandang ke Luang Prabang, silakan klik link My Lao Home Capsule Guesthouse untuk melihat foto dekorasi interior guesthouse yang mengedepankan seni bangunan khas Lao. Malamnya jalan ke Nisha restaurant, lalu kembali menyisir pasar malam di Sisavangvong road.
Tempat Parkir dan Tuk Tuk (Sumber: Wikipedia)





4 komentar:

  1. Mantap brader..ayo lanjutkan sampai ke negeri Hindustan,titip salam sm shah ruth khan..

    BalasHapus
  2. wah keren bangets..kalo mau jd backpaker ke luang prabang,gimana caranya??dr jakarta naek maskapai apa yg lumayan murah???thx

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi ya. Kalo dari jakarta susah juga, soalnya maskapai andalan para backpacker si merah AA ga ada terbang langsung ke Laos. Ada beberapa opsi yg mungkin bisa membantu
      1. Dari Jkt ke KL dulu, dari KL ada tu si AA tujuan ke Vientiane, dari sini naik bus ke LP
      2. Atau Jkt Bangkok, dr BKK bisa naik kereta ke NongKhai (border), lalu nyambung dengan bus ke Vientiane, dari sana naik bus lagi ke LP. Ada juga bus langsung dari BKK ke VE
      3. Kalo punya waktu lebih, Jkt-BKK, BKK-Chiang Mai dengan kereta atau bus. Dari CM ada bus langsung ke LP. Bisa juga naik long boat.

      Hapus