Bangun,
keluar menghirup segarnya udara pagi sembari memuaskan hasrat
berkodak-ria. Salah satu atraksi yang paling ditunggu oleh para
penggemar jeprat-jepret di Luang Prabang adalah
morning alms (Tak Bat) atau prosesi sedekah biksu. Setiap pagi hari, rombongan
monk
yang mengenakan jubah kuning jalan berarakan untuk menerima pemberian
berupa makanan dari masyarakat (termasuk juga wisatawan) yang telah
duduk bersimpuh di sepanjang trotoar. Sayangnya entah telat atau salah
tempat, saya tak melihat seremoni harian tersebut.
Lantas saya beranjak ke Royal Palace (Haw Kham) yang
berlokasi di Sisavangvong road, mumpung loket karcis belum buka, hehe.
Ternyata sudah ada beberapa orang turis di sana dengan tujuan serupa.
Haw Kham ini merupakan komplek istana yang dibangun pada masa kolonial
Prancis di tahun 1904, diperuntukkan bagi Raja Sisavang Vong dan
keluarganya. Namun setelah sempat diambil-alih oleh rezim komunis, pada
tahun 1995 bangunan tersebut diubah-fungsikan menjadi Museum Nasional.
Bagi sobat pecinta sejarah dan budaya yang ingin mengenal Laos lebih
jauh, silakan diobrak-abrik bagian dalam museum tersebut, buka dari
pukul 8.00 s/d 11.00 dan 13.30 s/d 16.00 setiap hari kecuali Selasa
dengan bea masuk 30,000 Kip.
|
Haw Pha Bang |
Lalu
naik ke bukit Phousi di seberang jalan Royal Palace, tatkala sampai di
atas, eh sudah ada petugas yang mengkawal loket karcis, akhirnya
duduk-duduk saja di bangku taman. Bertemu dengan wanita Cina
kemarin, hanya dia seorang saat itu. Saat turun, saya utarakan niat akan
berkunjung ke Dali dan Lijiang di negaranya. Beliau kurang begitu
antusias dan mengatakan bahwa kedua kota kuno tersebut, sekarang lebih
turistik dibandingkan beberapa tahun berselang. Padahal saya berharap
respon kaget dan wow yang wah darinya, hehe. Tak terpengaruh dengan
curhat si tante, saya ubah topik pembicaraan, ternyata dia baru balik
dari Chiang Mai, kota yang telah membuatnya jatuh cinta, dan ketika saya
tanya pernah ke Indonesia, lagi-lagi jawabnya memiriskan hati, hehe.
Untungnya dia tahu tentang Indonesia meski hanya Bali semata, "it's
famous island, someday i will visit there" katanya. Saya menawarkan
padanya untuk sama-sama berkunjung ke
Kuang Si Waterfall,
tampaknya dia berminat, kami sepakat untuk bertemu di tempat mangkal
tuk-tuk tujuan Kuang Si berada pada pukul sepuluh, lalu kami berpisah,
saya kembali ke penginapan, bersiap-siap pindah ke guesthouse yang lebih
murah.
Saat melewati pangkalan tuk-tuk tersebut, saya
tak bertemu lagi dengannya. Akhirnya saya coba bertanya pada salah satu
biro perjalanan di Sisavangvong road, dan dapat harga 50.000 Kip
(return). Harga ini sama dengan ongkos bila bepergian dengan tuk-tuk,
untungnya pesan di agen travel, disamping jenis kendaraan yang digunakan
(minivan), juga tak perlu menunggu lama, karena tuk-tuk akan melaju
setelah semua tempat duduk terisi penuh.
Saya
check in di My Lao Home Capsule Guesthouse yang terletak di sebuah gang
tak jauh dari Royal Palace, dormitory 40.000 Kip, kemudian buru-buru
menuju Nisha restaurant untuk makan siang. Berhubung untuk meracik
sepiring Nasi Briyani yang saya pesan butuh waktu lama ditambah jarak
dari Nisha ke Sisavangvong road aduhai jauhnya,
mepet, dikemaslah nasi khas India itu ke dalam
styrofoam.
Tak apalah, balik lagi ke biro travel, sampai di sana sudah ditunggu
oleh minivan yang akan mengantar kami ke Kuang Si, arghh, capeknyo.
Pukul setengah duabelas lewat, minivan berangkat menuju air terjun Kuang Si yang berjarak
± 29 km dari pusat kota. Hanya saya dan seorang perempuan lokal saja penumpang yang berwajah asia, selebihnya bule, seorang paitua
60-an dari Australia yang tak lelah-lelahnya bercerita tentang
pengalamannya melancong ke berbagai negara, pasangan kekasih dari Kanada
yang telah mengenalkan kopi luwak Indonesia sebagai kopi paling enak
yang mereka coba (thank, bro), pasangan Prancis dan yang lainnya lupa.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai Kuang Si dan bagaimana cara
mencapainya, boleh di baca di laman berikut.
Pemandangan selama ± 1 jam perjalanan
tak jauh beda dengan suasana rural di Indonesia, rumah-rumah penduduk
yang berjauhan satu sama lain, area persawahan plus kerbaunya. Saya juga
melihat beberapa orang turis asing bersepeda menuju Kuang Si. Sampai di
lokasi, pak sopir memberi batas waktu hingga pukul tiga sore, kami
harus membayar tiket masuk 20.000 Kip. Saat melewati pintu gerbang, para
pengunjung sudah disuguhi asrinya hawa hutan hujan tropis. Ada dua
jalur yang ditawarkan untuk mencapai air terjun utama, saya memilih
jalur yang melewati penangkaran Beruang Hitam Asia, dari situ terus
menapak di walkways menyusuri pinggir sungai yang bertingkat-tingkat rendah hingga sedang (cascade)
membentuk kolam yang berwarna hijau toska, sungguh lanskap alam yang
benar-benar memanjakan mata. Banyak bule yang berenang di sana, ada
beberapa orang yang bergelantungan pada sebuah sulur pohon lantas
meloncat ke kolam yang agak dalam, yang perempuan mengenakan bikini
layaknya di tepi pantai, wow. Terbayang masa kecil loncat-loncatan di
Batang Anai bareng kawan-kawan sepermainan. Sampai di air terjun utama,
melintasi jembatan kayu, lalu mendaki ke puncak, kala itu hanya saya dan
pasangan Prancis (bukan yang satu minivan), lumayan terjal dan curam
medan yang harus ditempuh, hingga di ketinggin tertentu saya putuskan
untuk turun, namun semangat kembali terpicu setelah dilewati oleh
kakek-kakek yang masih energik, tak mau kalah, saya balik badan dan
berhasil sampai ke puncak, ternyata sudah ada yang terlebih dahulu
sampai di sana selain pasangan Prancis tadi, makin lama makin banyak
yang berdatangan.
Puas
menikmati pemandangan alam yang tersaji dan terpampang indah dari atas,
saya kembali turun dan rehat melepas penat di bangku dekat air terjun
utama, merasakan percikan tempias, ditemani syahdunya alunan
butiran-butiran air yang berjatuhan serta memperhatikan polah aksi
pengunjung lain yang berfoto-foto dalam pelbagai pose.
Menjelang
jam tiga, saya kembali ke tempat parkir minivan berada. Semua teman
se-mobil selain pasangan Kanada tadi sudah berada di tempat. Sambil
menunggu mereka yang ternyata ikut pula berenang, saya berjalan-jalan
melihat lapak-lapak souvenir yang ada di sekitar parkir. Tak lama
merekapun datang, kemudian minivan kami melaju ke arah pusat kota. Tak
banyak yang saya lakukan sesampai di kota, istirahat di penginapan yang
baru, hanya saya seorang penghuni di dalam kamar dormitory itu. Meski
ada beberapa orang tamu lain di kamar khusus wanita di sebelahnya,
suasana lengang dan mencekam berasa di lantai dua tersebut, hihihi.
Namun secara keseluruhan, guesthouse ini bolehlah saya sarankan bagi
sobat budget traveler bila bertandang ke Luang Prabang, silakan klik
link My Lao Home Capsule Guesthouse untuk melihat foto dekorasi interior guesthouse yang mengedepankan seni bangunan khas Lao.
Malamnya jalan ke Nisha restaurant, lalu kembali menyisir pasar malam di Sisavangvong road.
|
Tempat Parkir dan Tuk Tuk (Sumber: Wikipedia) |
|
|
|
|
|
|
Mantap brader..ayo lanjutkan sampai ke negeri Hindustan,titip salam sm shah ruth khan..
BalasHapusDitunggu kisahnya, Bangbro, hehe.
Hapuswah keren bangets..kalo mau jd backpaker ke luang prabang,gimana caranya??dr jakarta naek maskapai apa yg lumayan murah???thx
BalasHapusMakasi ya. Kalo dari jakarta susah juga, soalnya maskapai andalan para backpacker si merah AA ga ada terbang langsung ke Laos. Ada beberapa opsi yg mungkin bisa membantu
Hapus1. Dari Jkt ke KL dulu, dari KL ada tu si AA tujuan ke Vientiane, dari sini naik bus ke LP
2. Atau Jkt Bangkok, dr BKK bisa naik kereta ke NongKhai (border), lalu nyambung dengan bus ke Vientiane, dari sana naik bus lagi ke LP. Ada juga bus langsung dari BKK ke VE
3. Kalo punya waktu lebih, Jkt-BKK, BKK-Chiang Mai dengan kereta atau bus. Dari CM ada bus langsung ke LP. Bisa juga naik long boat.