Kamis, 04 Juli 2013

09112012: Jatuh Hati Dengan Luang Prabang

Di pagi hari yang dingin dan masih berkabut, bus yang kami tumpangi tiba di terminal Luang Prabang. Naik tuk-tuk (15.000 Kip) ke pusat kota bareng dua orang wanita 40-an dari Cina dan pasangan turis Prancis, salah seorang wanita Cina tadi bertanya pada turis Prancis dimana mereka akan menginap, ternyata pasangan tersebut bukan tipe pelancong backpacker dan telah memesan kamar di sebuah hotel mewah, saya langsung paham dengan ucapan wanita itu, "oh, it's expensive for me". Saya berbaik hati (hehe) menawarkan bantuan padanya dengan memberikan daftar budget hotel di laman wikitravel Luang Prabang yang saya simpan di handphone sebelumnya. Entahlah, apakah dia jadi menginap atau tidak di salah satu hotel (hostel tepatnya) yang saya tunjukan, yang pasti dia meminta pak sopir stop sesuai dengan alamat yang tercantum di sana.

Saya turun di jalan Sisavangvong, jalan utama di kota tua ini, dikiri kanannya banyak bangunan bercirikan paduan arsitekur kolonial Prancis dengan Lao yang masih indah terawat (pantas diganjar sebagai situs warisan dunia UNESCO), diantaranya dijadikan sebagai penginapan, restoran/cafe, agen travel dan toko-toko souvenir. Jatuh hati pada pandangan pertama, itulah kesan yang saya rasakan saat melangkahkan kaki di bekas ibukota kerajaan Laos ini. Hadir dan merasakan denyut kehidupan masyarakat yang masih memelihara nilai-nilai budaya tradisional di antara perpaduan bentangan alam dan bangunan kuno yang aduhai (hehe, puitis). Luang Prabang adalah ibukota propinsi Louangphabang, terletak ± 425 km sebelah utara Vientiane (capital of Lao PDR). Kota ini dialiri oleh dua buah sungai (Nam), Mekong di utara dan Nam Khan di timur. 
Umumnya Wanita Laos Mengenakan Bawahan Seperti Di Atas
Balik ke realitas yang saya alami di pagi itu, selalu hal pertama yang harus saya kerjakan adalah menemukan sebuah penginapan, agar bisa menaruh backpack dan sejenak melepas lelah dari perjalanan panjang. Menyusuri gang kecil mengarah ke sungai Khan, balik lagi ke jalan utama, lalu melangkah ke persimpangan menuju pinggir sungai Mekong. Ada banyak pilihan penginapan, ada tiga tempat yang saya datangi. Guesthouse pertama menawarkan private room (30.000 Kip), tapi tanpa koneksi wi-fi, padahal ia sangat amat dibutuhkan oleh seorang traveler, termasuk saya. Lalu ke guesthouse yang kedua, pemiliknya (seorang wanita tua) memberikan private room (80.000 Kip) untuk tiga bed (wah besarnya). Jalan ke guesthouse yang ketiga sembari pamit kepada nenek tadi dengan alasan "Sorry, so big for me, Madam" (hehe, akal culas), "Maaf ya, Nek. Saya ingin mencari kamar yang lebih murah" (andai-andai saya saat itu, tiga bed saja dengan harga segitu apalagi yang satu atau dua). Guesthouse yang ketiga inilah yang menjadi pilihan terakhir saya, View Khem Khong Guesthouse yang berlokasi di pinggir sungai Mekong, check-in, private room (80.000 Kip), double bed, wi-fi, kamar mandi di dalam (luas, bersih + shower air panas), fan/ AC.
Taruh barang, rendam beberapa helai pakaian kotor (Nah, ketahuan). Disini saya berikan sedikit trik menghemat pengeluaran a la backpacker dari segi laundry. Usahakan mengambil private room dengan kamar mandi di dalam (prioritaskan yang ada fan) agar bisa melakukan kegiatan "terlarang" dengan nyaman, hehe. Gunakanlah tempat sampah (biasanya dilapisi kantung kresek baru) sebagai wadah untuk merendam pakaian. Setelah pakaian dikucek dan dibilas, kering-airkan terlebih dahulu di kamar mandi, lalu taruh di depan kipas-angin, jangan lupa di bolak-balik. Saya sarankan tidak mencoba apabila di dinding atau balik pintu kamar sudah ditempel peringatan "No washing in bathroom...." oleh pemilik guesthouse. 

Lanjut berselancar di internet mencari Masjid disekitar kota, sayang tak satupun informasi yang tersedia di google. Syukur ada tempat makan halal untuk "berbuka puasa" nantinya. Saya rental sepeda (20.000 Kip) tak jauh dari penginapan. Ini kali pertama saya menyewa sepeda, awalnya agak kagok berkendara, karena Laos dan juga negara Indocina lainnya menggunakan lajur kanan saat berlalu lintas. Harus berhati-hati memilih tempat rental sepeda saat berkunjung di negara lain, lazimnya passport kita akan dijadikan jaminan oleh si pemilik rental, kalau ragu lebih disarankan untuk menyerahkan uang sebagai agunan.

Melesat ke Nisha Restaurant (Indian food) di Kitsalat road beberapa ratus meter dari Dara market. Akhirnya makan "berat" juga, sepiring nasi briyani telur (25.000 Kip) segera berpindah ke saluran pencernaan, alhamdulillah, sabar itu berbuah manis, hehe. Di beberapa kota yang saya kunjungi di Laos dan Vietnam nantinya, disamping susah menemukan makanan halal, harga per porsinya juga lumayan mahal. Rata-rata 30 ribu sampai 50 ribu Rupiah sekali makan, itu diluar minuman. Pada umumnya restoran halal ini dimiliki oleh orang-orang keturunan India, berharap Rumah Makan Padang dan Pecel Lele ekspansi ke luar Indonesia, sebuah prospek bisnis yang cerah.

Setelah saya konfirmasi pada bapak pemilik Nisha restaurant, memang benar belum ada bangunan Masjid di Luang Prabang, dan siang itu, saya terpaksa tidak bisa menunaikan shalat Jumat. Balik lagi ke guesthouse, bilas pakaian yang tadi direndam, kemudian tidur. Terbangun sekitar pukul tiga, kembali memacu sepeda menuju terminal Bannaluang (south bus station) melewati Luang Prabang Stadium untuk memesan tiket ke Vang Vieng dua hari kedepan, disana bertemu cewek Argentina, wajahnya mengingatkan saya akan seseorang di masa lalu (Gabriela Sabatini or Thalia, hehe), dapat tiket (105.000 Kip). Balik dari stasiun, dengan semangat 45, saya gowes kereta angin ini menjelajahi pelosok tempat di pinggir kota, melewati dua buah jembatan, salah satunya terbuat dari kayu yang hanya boleh dilewati oleh sepeda dan motor, ada pedestrian di samping jembatan utama. Dari sini, saya melihat sebuah bangunan kuil berwarna keemasan di kejauhan dengan latar pegunungan, terkesan mistis. Saya coba mengayuh sepeda kesitu, melewati Nam Khan bridge, tampak satu dua orang biksu tengah melintas. Tak jadi menyinggahi kuil emas tersebut, saya balik arah, dan berbelok lalu masuk melalui sebuah gate yang bertuliskan "Stade Couvert...." yang saya lihat sebelumnya, ternyata di ujung sana terdapat komplek gelanggang olah raga, ada banyak anak muda sedang berolah raga, diantaranya sedang asyik bermain badminton, sepertinya suatu saat Laos akan diperhitungkan sebagai kekuatan bulutangkis dunia, hehe.

 Sebuah Kuil di Atas Bukit Phousi
Tampak Kuil Keemasan di Kejauhan, Terkesan Mistis
Nam Khan Bridge
Gate Menuju Gelanggang Olah Raga
Jembatan Kayu yang Hanya Dilalui Sepeda dan Motor
Salah Satu Bangunan di Komplek GOR
Aktifitas Muda-Mudi di Sore Hari
Sama halnya di Thailand, ada banyak penjual lotre terutama kaum perempuan di pinggir jalan. Menjelang petang balik kembali ke kota tua, saya sempatkan naik bukit Phousi dari jalan Kingkitsarath (backdoor entrance), parkir sepeda di bawah, lalu menaiki ratusan anak tangga ke atas, ada beberapa situs agama Budha di sana. Melayangkan pandangan ke arah aliran sungai Khan dengan latar birunya gugus pegunungan dalam semburat sore yang kemerahan, Maha Besar Tuhan yang menciptakan tak terhitung banyaknya keindahan di muka Bumi. Turun dari situ, gowes sepeda menyusuri pinggir Nam Khan hingga pertemuannya dengan sungai Mekong, terus menyisir Khem Khong road menuju arah penginapan. Ada beberapa wat yang saya lihat di sepanjang jalan, tidak seperti di Chiang Mai, pengunjung harus membayar tiket untuk masuk kedalamnya, saya urungkan niat untuk berkunjung, toh rata-rata corak arsitektur bangunan kuil mirip-mirip dengan wat yang ada di Thailand.
Menaiki Ratusan Anak Tangga ke Bukit Phousi
Saya tak langsung balik ke penginapan, karena batas waktu penyerahan sepeda adalah jam 19.30, saya menggowes lagi ke Nisha restaurant untuk makan malam, soalnya dari guesthouse lumayan jauh ke sana dengan berjalan kaki, sampai di Nisha bertemu dengan backpacker asal Thailand Selatan, sayangnya tak lancar cakap Melayu. Bertemu dengan saudara sesama Muslim merupakan kesenangan tersendiri, apalagi dari negeri yang sama, huhu, jadi rindu berbincang dengan bahasa ibu. Malam itu saya memesan semacam nasi goreng vegetable (10.000 Kip) ada kismis, cashew nut dan lainnya plus segelas lemon shake (8.000 Kip), ada nama Indianya tapi lupa. Habis makan antar sepeda, balik sebentar ke penginapan, mandi, shalat, terus merasakan geliat kehidupan malam di sepanjang Sisavangvong road. Ada pula night market, hampir sama dengan suasana sunday walking street di Chiang Mai, nyicip jus campuran buah Mangga-Pisang-Nenas, hmmm....., enak juga. Lampias menghirup aroma kota tua Luang Prabang di waktu malam, saatnya pulang ke peraduan.

4 komentar:

  1. Keren Bro. Saya juga mo ke Laos dan sama, salah satu hal penting buat saya cari penginapan dekat masjid supaya gampang dapat makan halal.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  4. Casino Slots, Video Poker, Bingo & Poker - MapYRO
    Casino 안성 출장마사지 Slots - Free 진주 출장마사지 Slots, Live Casino & Vegas Casino - MapYRO Search the most recent search 서산 출장샵 to see which slot machines 안산 출장샵 are 구미 출장샵 the best.

    BalasHapus