Rabu, 03 Juli 2013

08112012: Toward Huoay Xai (Laos)

Chiang Saen merupakan kota kecil, tenang dan indah yang dilalui oleh sungai Mekong nan melegenda. Dahulunya kota yang bernama Wiang Hiran Nakhon Ngoen Yang ini adalah ibu kota dari kerajaan Lanna sebelum Raja Mengrai memindahkannya ke Chiang Rai tahun 1262. Tujuan saya ke sini tak lain untuk mengunjungi Golden Triangle (pertemuan antara dua sungai, yakni Ruak dan Mekong membentuk kawasan segitiga emas Thailand-Bruma-Laos) yang terletak sekitar 10 Km arah utara kota. Mencecap sensasi dunia per-mafia-an a la Asia Tenggara, hehe.
Karena daerah yang juga dikenal dengan istilah lokal Sop Ruak ini pada dekade 80-an terkenal sebagai kawasan produksi dan lalu lintas perdagangan narkotika (opium) nomor dua terbesar di Asia setelah Golden Crescent (Afghanistan-Iran-Pakistan) yang dikendalikan oleh seorang Drug Lord Khun Sa.
Selayang Pandang Mekong dari Promenade Kota Chiang Saen
Pukul setengah lapan pagi langsung check out, kemudian naik songthaew biru (tujuan akhir Mae Sai) dari depan sebuah sekolah di 1016 road ke Golden Triangle (20 B). Waktu tempuh sekitar 15 menit. Ketika saya dipersilakan turun oleh bapak sopir, saya hanya menemukan monumen seperti gambar di bawah, nothing special in there. Namun sebenarnya ada beberapa lokawisata yang recommended untuk didatangi, salah satunya hall of opium yang digadang-gadangkan sebagai museum terbaik se-Thailand. Menyisir trotoar ke arah utara mencari bangunan tersebut, tapi tak bertemu. Berhubung harus segera mengejar green songthaew ke Chiang Khong, saya kembali dengan blue songthaew ke penginapan, mengambil backpack yang saya titipkan, eh ibunya belum balik dari pasar. 
Sumber: Wikitravel
Setelah si ibu kembali, saya berjalan ke arah T-intersection, lurus 1 Km ke tempat mangkalnya songthaew hijau. Menunggu sampai semua bangku terisi penuh pada sebuah pondok sembari memandang aktifitas masyarakat yang memuat barang-barang ke atas kapal yang berbendera Laos dan Myanmar. Ekonomi Thailand memang lebih maju dibanding dua negara tetangganya itu, pikiran sayapun menerawang, beginilah kondisi yang sama terjadi di tapal batas negaraku, terutama di pulau kalimantan sana. Songthaewpun melaju meninggalkan Chiang Saen setelah semua bangku disesaki para penumpang dan barang bawaan mereka, malah ada yang berdiri di belakang. Saya satu-satunya turis asing, berasa naik angkutan pedesaan jurusan Kayutanam-Padangpanjang, hehe. Pengalaman seperti inilah yang saya dambakan, berbaur dengan penduduk lokal, walau sekedar senyam-senyum kala bertatapan mata dengan mereka, mendengarkan celoteh mereka,  dan menyaksikan dinamika kehidupan yang sama dimanapun negerinya.

Satu-satu penumpang yang bejibun tadi turun di pertengahan jalan, tinggallah saya, pasangan suami istri, seorang gadis dan seorang bujang yang duduk di samping sopir. Cerita-cerita dengan pasutri yang duduk di depan saya, mereka datang dari Bangkok, si Istri asli dari Lao, kebetulan negara yang akan saya kunjungi berikutnya. Sedikit bertanya-tanya mengenai transportasi dari Houay Xai ke Luang Prabang jalur sungai dengan long boat. Di suatu tempat, songthaew ini berhenti, si suami meminta kesediaan saya dan dua orang lainnya untuk menunggu serta menyilakan saya untuk mampir makan siang di sebuah kedai yang ternyata punya kerabat istrinya, saya menolak dengan halus, kemudian dia kembali dan memberikan saya sebotol soft drink. Baiknya, padahal baru saja kenal.

Dari sana, perjalanan kami dilanjutkan dengan mobil 4WD. Namun harus membayar ongkos tambahan 50 B.  Mau tak mau mesti mau, hehe. Tak apa, yang penting sensasi yang saya rasakan tak sebanding dengan uang yang saya keluarkan. Duduk dibelakang bak terbuka bersama si suami (istrinya tak ikut serta) dan anak muda gaul yang tadi duduk di samping sopir, menyaksikan pemandangan yang subhanallah indah, keruhnya air sungai Mekong berpadu dengan lembah dan deretan pepohonan yang menghijau serasa bertualang di negeri antah berantah (sedikit lebay, hehe), perfecto (berasa aura magisnya). Sayang, bapak sopir tak memberi kesempatan bagi kami berhenti sejenak untuk menikmati alam ciptaan Tuhan yang luar biasa ini, malah ngebut di medan aspal yang berliku dan menanjak.
Ada Penampakan, Hehe. Sorry No Pic More Without Me
Kira-kira setengah jam kemudian, saya diturunkan dekat border Thai-Lao, yang lain melanjutkan perjalanan, pamit dengan dua orang kawan baru, lalu berjalan beberapa ratus meter ke arah imigrasi Thai, tak banyak turis asing yang melintas batas saat check point di situ. Plak, sebuah stamp keluar Thailand tertera di passportku. Seterusnya menyeberang dengan perahu motor 20 B ke Houay Xai, satu perahu dengan dua orang gadis Lao yang tak malu-malu memulai mengajak kenalan dengan turis kulit hitam ini, hehe. Tak sampai 10 menit, perahu sudah berlabuh di sisi Houay Xai, jalan menanjak ke imigrasi Lao. Ada beberapa turis asing termasuk keluarga dari Malaysia yang sedang check point. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan stamp  masuk Laos dari wanita muda yang duduk di balik kaca pembatas, tanpa visa dan harus mengisi arrival card. Khop chai deu, Miss. Terima kasih banyak, Nona.
Perahu Motor Penyeberangan Chiang Khong - Houay Xai
Perahu Sandar di Sisi Houay Xai
Sabaidee, selamat datang di Houay Xai, ibukota provinsi Bokeo, Laos. Kotanya tak besar, tapi ramai dengan turis yang berlalu lalang. Kebanyakan mereka hanya menjadikan kota ini sebagai tempat transit untuk melanjutkan perjalanan ke bagian lain Laos atau menyebrang ke Thailand. Rencananya, saya ingin menginap semalam disini, pagi harinya berangkat dengan long boat menuju Luang Prabang. Namun setelah tak menemukan penginapan murah, dan menghitung-hitung pengeluaran ongkos long boat dan biaya menginap semalam di Pak Beng (total ± 400 ribu Rupiah), saya putuskan dengan berat hati untuk mencari night bus ke Luang Prabang. Dari pengalaman traveler lain yang saya baca, menumpang long boat mengarungi sungai Mekong ke Luang Prabang memberikan keasyikan tersendiri dan sangat disarankan, berangkat pagi menjelang siang dari Houay Xai, berhenti di Pak Beng ± enam jam kemudian untuk menginap semalam disana, karena tidak memungkinkan untuk meneruskan perjalanan di waktu malam, pagi keesokan harinya dengan long boat yang sama meneruskan lagi perjalanan hingga tiba di Luang Prabang menjelang petang. May be later i try this way, Insyaallah. 
Suasana Kota Houay Xai
Plang Nama Sebuah Bank
Saat menukar uang di money changer, ada tertulis menerima booking bus ke Luang Prabang, berangkat jam lima sore. Saya coba bertanya di agen travel yang lain, ongkosnya tak berbeda jauh. Tak ada salahnya datang ke terminal, tentunya dengan harapan ongkos yang lebih murah. Namun keputusan ini menjadi penyesalan bagi saya nantinya, karena diantar ke terminal yang salah oleh sopir tuk-tuk (40 B pergi 40 B balik ke agen travel tadi), hufftt. Ujung-ujungnya saya memesan tiket bus di agen travel yang kedua 180.000 Kip (harga di terminal 145.000 Kip) (1 Kip = 1.2 Rupiah)

Sebelum pukul 17.00, saya sempatkan berjalan-jalan sambil hunting foto di Houay Xai, menyisir jalan menemukan rumah makan halal dengan hasil nihil, terpaksa diganjal lagi dengan cemilan, tapi alhamdulillah tetap mengenyangkan. Jam lima kurang, tuk-tukpun datang untuk memboyong kami ke terminal, tetapi bukan ke terminal yang tadi, lebih terkesan megah dan modern, maklum saja ini terminal internasional dengan berbagai tujuan luar negeri, termasuk Cina.
Koleksi Pribadi
Sumber: Flickr
Kami telah ditunggu bus bertingkat (tempat duduk penumpang bagian atas, bagian bawah tempat barang dan toilet). Pukul 6 petang, bus berangkat meninggalkan Houay Xai. Kebanyakan penumpang adalah turis asing. Namun saya duduk disebelah warga lokal. Bagi budget traveler tentunya mengadakan perjalanan di malam hari akan menghemat biaya penginapan, tetapi ada ruginya juga tak bisa menikmati pemandangan atau hal menarik lainnya seperti perjalanan dari Houay Xai ke Luang Prabang ini, dimana kita bisa menyaksikan perkampungan suku-suku pegunungan (hill tribe) yang unik di sepanjang jalan.

Menjelang tengah malam bus stop di sebuah kedai makan di Luang Namtha, ingin bergabung dengan penumpang lain memesan makanan, tetapi hati masih was-was. Sudah 24 jam pencernaan tak dilalui makanan "berat", akhirnya pesan roti panjang Baguette (alamak keras dan liatnya roti khas Prancis ini) plus Pringl** Potato Chips (20.000 Kip) sebagai sumber karbohidrat, hehe. Setelah rehat lumayan lama, perjalanan kembali dilanjutkan membelah pekatnya malam. Hoammm, saatnya tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar