Sabtu, 29 Juni 2013

07112012: Mae Sai - Tachileik

Cukup rasanya semalam di Chiang Rai, pagi itu setelah checkout, saya berjalan ke terminal bus lama, dari sana menumpangi ordinary bus ke Wat Rong Khun a.k.a White Temple. Perjalanan ke sana ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit. Saya tidak sendiri, ada beberapa orang lagi turis asing menumpangi bus itu, seorang diantaranya cewek Australia yang bekerja di Malaysia, malangnya dia belum pernah ke Indonesia.
Dari lebuh raya, berjalan sekitar 500 m ke arah kuil, asyiknya untuk melihat bangunan kuil yang berwarna tak lazim itu, pengunjung tak dipungut biaya. Untuk masuk ke dalam kuil utama para pengunjung harus melewati pos pemeriksaan terlebih dulu, dilarang membawa makanan dan minuman, lalu melintasi jembatan yang di kiri kanannya menyembul patung tangan-tangan manusia. 
Amazing Toilet
Sayang rasanya melewatkan momen ini tanpa kodak diri dengan latar kuil kontemporer yang tak biasa itu, untunglah cewek Australia tadi berbaik hati jadi juru potretnya. Balik ke terminal dengan songthaew biru (20 B) di depan pos polisi, lalu dari sana naik minivan green bus company (45 B) ke Mae Sai, distrik paling utara provinsi Chiang Rai yang berbatasan langsung dengan kota Tachileik, Myanmar. Pada umumnya turis yang datang ke Mae Sai hanya bermaksud untuk menyebrang perbatasan ke Tachileik, mencoba merasakan aura yang berbeda dari negara bekas rezim junta militer itu. 

Perjalanan ke Mae Sai ditempuh dalam waktu ± 2 jam. Minivan yang saya tumpangi berhenti di terminal, dari sana naik songthaew merah (15 B) ke perbatasan. Turun dari songthew saya berjalan sesuai arahan laman wikitravel (Mae Sai) menuju bukit tempat Wat Phra That Wai Dao dan patung kalajengking raksasanya berada. Sayangnya sudah jauh berjalan tak kelihatan bukit yang dituju.

Balik ke arah border, ketika melewati gerbang imigrasi Thai, ada lonjakan adrenalin yang saya rasakan. Perasaan itu kian bertambah saat menyebrangi jembatan menuju imigrasi Myanmar. Antara deg-degan, khawatir dan excited berbaur padu, maklum saat itu sedang hangat-hangatnya konflik antar etnis muslim Rohingya dan Budha di Rakhine. Alhamdulillah ketika keluar dari kantor imigrasi dan berkeliaran selama ± 4 jam di kota perbatasan itu tak ada tanda-tanda bahwa kerusuhan di pesisir barat Myanmar itu menjalar ke Tachileik.
Menuju Imigrasi Myanmar

Sungai yang Memisahkan Thailand dan Myanmar
Terjadi sedikit kesalahpahaman di bagian imigrasi, awalnya petugas yang berwenang hanya memberikan stamp di passport saya, ketika hendak menuju gerbang, saya dihadang dan dilarang masuk oleh petugas lain, dia meminta saya kembali ke dalam kantor untuk mengurus permit entry, dengan sedikit bersusah payah menjelaskan apa yang saya inginkan bahwa tidak sekedar memperoleh stamp tapi juga berkunjung ke negara mereka, lalu si petugas menahan passport saya dan menyerahkan selembar kertas sebagai permit entry. Untuk mendapatkan surat ini, turis asing harus membayar 10 USD atau 500 B, tetapi yang terjadi di lapangan pihak imigrasi hanya menerima pembayaran dalam bentuk Baht dan dari segi hitung-hitungan, tentu hal ini lebih menguntungkan (90an ribu vs 150an ribu Rupiah). Permit entry yang berlaku 14 hari ini  terbatas untuk masuk ke dua kota di negara bagian Shan saja, Tachileik dan Kengtung.
Akhirnya bisa menghirup udara di negara Auang San Suu Kyi juga, padahal kecewa dengan sikap peraih nobel perdamaian ini yang seolah menutup mata atas tragedi yang menimpa etnis Rohingya. Kembali ke alur cerita, lepas dari gerbang imigrasi, saya disambut oleh beberapa orang sopir tuk-tuk yang menawarkan paket tur ke berbagai tempat seraya memperlihatkan brosur destinasi wisata dalam kota Tachileik, saya iseng bertanya pada salah seorang diantara mereka mengenai harga dan destinasi mana saja yang akan dikunjungi sebagai pembanding nantinya untuk mencari harga yang lebih murah. Ketika saya katakan akan kembali setelah menunaikan shalat Dzuhur, nah si Bapak tak begitu saja melepaskan, dia berkeras mengantarkan saya ke Masjid (Mereka mengenal Moslem temple) dan akan menunggu, lalu datanglah bapak-bapak India sembari bertanya tujuan saya, mungkin dia menyangka saya sedang terjebak praktek nakal para sopir tuk-tuk dan bermaksud hendak menolong.

"Masjid? Itukan dekat banget, biar dah gue yang antar lu, Men. Lu jangan percaya ama omongan mereka, Men!" ujar laki-laki India tadi dalam bahasa Inggris dengan aksen gaul. Kemudian dilepas oleh tatapan marah si sopir, beliau mengantarkan saya menuju Masjid yang dimaksud.

Di sepanjang jalan kawan baru ini tak henti-hentinya bicara, saya mulai agak khawatir, apakah orang ini waras atau tidak, untunglah ketika sampai di gerbang Masjid dia pergi setelah saya mimintanya untuk kembali ke border dan mengucapkan terima kasih, padahal tadinya dia bermaksud menunggu untuk mengajak saya berkeliling kota, hufftt. Karena belum masuk waktu Dzuhur, saya ngopi dulu dikedai depan Masjid. Saya lihat jam di dinding masih pukul 11.30 (waktu di Tachileik lebih lambat setengah jam dari Thailand). Ada beberapa orang bapak-bapak duduk di sana, tak lama kemudian datang pula rombongan ibu-ibu mengenakan sarung dengan wajah dipupuri semacam bedak beras, wajah dan perawakan mereka seperti wanita Indonesia umumnya.
Waktu sholat Dzuhur saat itu sekitar pukul 1 lewat. Ada banyak orang yang menunaikan shalat berjamah di sana. Kelar sembahyang, saya balik ke warung kopi tadi untuk mengambil tas yang saya titipkan dan bertanya pada ibu pemiliknya dimana tempat makan yang halal, lalu beliau berbicara dengan laki-laki yang kemudian mencarikan ojek buat mengantar saya ke sebuah rumah makan. Mereka adalah orang-orang baik, jauh juga kalau berjalan, apalagi di bawah panas matahari yang menyengat. Siang itu saya makan nasi goreng mata sapi setelah sempat kewalahan memesan makanan, disebabkan oleh daftar menu yang semuanya ditulis dalam huruf Burma.
Selesai makan saya berjalan ke arah border, rencananya mau ambil paket tur keliling kota dengan tuk-tuk tadi. Ada bapak-bapak yang menawarkan jasa dan tampaknya orang baik, setelah sedikit tawar menawar disetujui harga 100 B untuk 3 destinasi, salah satunya ke perkampungan suku Karen. Tujuan pertama adalah ke sebuah kuil Budha. Arsitekturnya berbeda dengan wat yang umumnya ada di Thailand. Berikut ke replikanya Swedhagon. Meski hanya tiruan, bangunannya begitu besar dan megah apalagi bangunan asli yang menjadi landmark Myanmar di Yangon sana.
Dhammayon Temple
Tujuan terakhir adalah ke perkampungan suku Karen. Namun sedikit kecewa ketika sampai di sana, karena bukan perkampungan asli melainkan semacam pemukiman yang sengaja dibikin pemerintah untuk tujuan wisata. Saya harus membayar tiket masuk 120 B. Untuk kenal lebih jauh tentang suku Karen (Kayin) dapat di baca di laman ini
Karen Woman
Hari kian sore, selesai sightseeing balik ke perbatasan (sempat ditawari karaoke sekalian wisata kelamin oleh si bapak, hehe), saya harus menyerahkan permit entry dan mengambil passport di imigrasi. Masuk lagi ke Mae Sai, saya berharap masih ada blue songthaew yang ngetem di persimpangan tak jauh dari border tujuan Golden Triangle. Jalan sambil celingak-celinguk menemukan si biru, tetapi hasilnya nihil. Saya putuskan kembali ke terminal dengan songthew merah, dari sana naik public bus jurusan Chiang Rai. Di pertengahan jalan (Mae Chan), saya diturunkan oleh kondektur (wanita paruh baya) untuk menyambung bus ke Chiang Saen yang merupakan kota terdekat wilayah segitiga emas Thai, Lao dan Burma yang ingin saya kunjungi.

Sampai di Chiang Saen ± pukul delapan malam, dari perhentian bus, saya berjalan lurus mengikuti arahan wikitravel ke pertigaan, belok ke utara, jalan 500 m, alhamdulillah bersua Chiang Saen Guesthouse, langsung check in, ambil private room (150 B) di lantai 2, double bed, fan, kamar mandi di dalam (shower air panas) plus wifi. Keluar cari makan, tak dijumpai tempat makan Muslim, beli pancake saja, balik ke penginapan, istirahat.
Suasana Kamar di Chiang Saen Guesthouse

Tidak ada komentar:

Posting Komentar